Senin, 11 Juni 2012
WEDUNG 2
Wedhung berkembang menjadi status simbol dalam keraton, ditandai dengan diciptakannya wedhung kecil dengan ukuran kurang dari 25 cm disebut "pasikon". Wedhung kecil "pasikon" ini menggeser fungsi `senjata tebas' menjadi senjata psikhis (sebagai piyandel).
Pasikon pada waktu itu hanya boleh dipakai oleh raja dan para petingginya saja. Maka tidak heran jaman Demak darr era selanjutnya, raja-raja Jawa melengkapi busananya dengan `pasikon' yang mudah dibawa-bawa.
Wedhung mulai disandang oleh Sultan Trenggono (raja Demak Bintoro) diperkirakan pada tahun 1506 M, saat peresmian Masjid Demak yang megah (DR. HJ. de Graaf, "Mosque'). Sehingga para empu keris bergairah lagi, karena budaya keris berbentuk wedhung disandang raja dan masuk istana.
Ketika Adiwidjaya 1581 M, mendapat pengakuan sebagai raja Pajang setelah Demak Bintoro runtuh, para empu keris muncul dan mulai menciptakan keris lagi. Suatu era baru dimana keris lebih disempurnakan dari ciri keris pada jaman sebelumnya. Bahan-bahan besi keris Majapahit yang ditimbun dan tidak dipergunakan mulai dimanfaatkan sehingga seni keris jaman Pajang dinilai lebih indah dibanding keris jaman Majapahit.
Keris yang pada jaman Demak tidak menjadi peng"agung"an budaya kerajaan, tidak banyak dibicarakan pada buku-buku, kecuali hanya ditemukan pada beberapa buku kawruh padhuwungan (R. Tannaya 1938 - Ditulis ulang oleh S. Lumintu), disebutkan : "Tangguh Demak ; pasikutan wingit, angker; Besi basah; Pamormengapung (ngambang)".
Bambang Harsrinuskmo menuliskan bahwa ciri-ciri bentuk kerisjaman Kesultanan Demak, antara lain : "Tangguh Demak : Ganja rata. Gulu meled, sirah cecak : kecil dan menguncup. Bahan pamornya bagus. Besi agak kuning kurang bercahaya (guwaya). Sosok bilah agak membungkuk. Tikel alis pendek. Sogokan panjang. Kembang kacang kecil. Jalen kecil. Lambe gajah agak besar dan panjang".'A'
Catatan tambahan
Wedhung merupakan senjata tebas yang telah ada sejak masuknya pedagang-pedagang dari Asia Timur dan Tenggara. Pada akhir-akhir ini penemuan senjata berbentuk serupa wedhung di tepi sungai Brantas - Jawa Timur, diperkirakan peninggalan jaman kerajaan Singhasari (abad 12 M), serta beberapa penemuan di daerah Cirebon - Jawa Barat, kemungkinan buatan jaman kerajaan Pasundan Hindu-Budha (abad 10 M). Maka sebenarnya dapat dilakukan penelitian perkiraan bentuk awal wedhung dan tahap perkembangannya.
Pada jaman Demak Bintoro, seperti telah diutarakan wedhung mengalami perkembangannya dari fungsi senjata tebas - penambahan aspek seni - kemudian menjadi senjata spiritual dan symbol status.
Pada jaman Mataram, wedhung dihiasi pamor yang variatip. Perkembangan seni pada wedhung terlihat adanya penambahan kaligrafi Islam di bilahnya dengan teknik menempelkan tatahan rumit terbuat dari emas.
Budaya wedhung mengalami puncaknya pada jaman keraton Paku Buwana (Kartasura - 17 M). Wedhung banyak dibuat dan dihadiahkan kepada petinggi-petinggi istana dalam wilayah kekuasaannya.
Bahkan pada jaman Sinuhun Paku Buwana X (18 M) wedhung sempat dipakai sebagai bahan ujian untuk para empu yang akan diresmikan oleh raja menjadi empu andalan keraton sebagai simbol janji kesetiaannya. Pada masa itu empu mas Ngabei Japan juga membuat wedung yang indah. (The World of The Javanese Keris; Garreftand8ronwen Solyom).
Wedhung menjadi bagian dari budaya keris yang penting karena oleh raja Paku Buwana X, wedhung (pasikon) dianggap sebagai karya agung yang spesifik, antara lain di dalam buku Koninklijke Geschenken Uit Indonesie, oleh Rita Wassing-Visser; disebutkan :
"Wedhung, senjata yang disandang di pinggang kiri depan oleh putra raja dan petinggi istana. Bentuk pegangannya bersegi lima, warangka dari kayu berwarna lebih muda dengan 4 lingkaran (ring) terbuat dari emas, dihiasi ornamen sumping (palmet dari emas) dengan initial PB X Disisi belakang ada penjepit panjang berbentuk tangkai seperti sendok sepatu dari tanduk kerbau. Wedhung pernah dihadiahkan kepada rafu Wilhelmina oleh Sri Susuhunan Paku Buwana X, saaf penobatannya padatahun 1898...". ( Wedhung biasa (untuk rakyat) juga dipakai oleh para abdi dalem dalam upacara resmi, sebagai ungkapan pengabdian kepada istana. Bahkan disakralkan menjadi simbol pengabdian manusia kepada Tuhan Yang Kuasa.
Teknik membuat wedhung jauh berbeda dengan keris, karena wedhung memiliki simpul-simpul keseimbangan yang harus dipelajari dengan seksama sehingga tantingannya ringan. Teknik pelipatan besi pada wedhung tidak banyak variasi, kecuali tumpukan lipatan besi dan bahan meteor berpola `mlumah'.
Kesimpulan
Wedhung adalah bentuk senjata yang memiliki nilai budaya, seperti keris. Awalnya sebagai senjata tebas kemudian bergeser sebagai senjata spiritual yang memiliki fungsi lain yaitu merupakan pelengkap berbusana.
Ciri-ciri khas bentuk keris pada jaman Demak merupakan misteri, namun wedhung dan pasikon (wedhung kecil raja) yang bukan berbentuk keris ternyata tetap mengisi budaya perkerisan, sebagai mata rantai budaya yang tidak terpufus.
WEDUNG
WEDUNG SEBAGAI PUSAKA
Ketika Majapahit mulai rapuh (1480 M), Demak Bintoro mulai memiliki pengaruh di wilayah pesisir utara Jawa seperti Jepara, Kudus, Juwana, Pati dan lain lainnya. Demak merubah tatanan kerajaan Hindu-Budha menjadi bernafas Islam. Wali sembilan (Wali Songo) dalam upaya meng'islam'kan Jawa menggunakan cara dengan bersikap toleransi terhadap budaya masyarakat lingkungannya. Muncul nama Sunan Kalijaga sebagai wali yang pandai menggubah kesenian daerah dan menciptakan hiburan rakyat dan permainan anak-anak dalam rangka siar Islam... ". (Kalijaga seniman Jawa; Makalah, GedungStovia-Jakarta, H. Deddylskandar 1988).
Catatan lain menyatakan bahwa Majapahit tidak runtuh oleh serangan dari kerajaan Demak Bintoro, melainkan mengalami pengeroposan dari dalam pemerintahannya. Ada beberapa sebab yang membuat Majapahit goyah, antara lain : Seringnya terjadi bencana alam, Canggu sebagai pelabuhan terbesar Majapahit, rusak fatal diterpa bencana alam (James Nash; 1932). Perang Paregreg merupakan perebutan kekuasaan yang berakibat kondisi ekonomi kacau, jurang kaya miskin melebar dan sering terjadi kerusuhan anarkis karena meruncingnya perbedaan paham kepercayaan. (DR. HJ. de Graaf; Java in the 14th Century, 1960).
Berita dari China, menyatakan bahwa roda pemerintahan Majapahit (Raja Girindrawardhana 1486 - 1527 M) sudah dibawah pengaruh Kesultanan Demak Bintoro. Paham-paham kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat membuat pertikaian tak kunjung padam. Kitab Salokantara karya Raden Patah (Djiemboen) diluncurkan sebagai panduan fikih Islam (ajaran akhlak Islam). Berita dari China itu mengatakan : Pangeran Djiemboen dari Demak menyebarkan ajaran kebaikan (Islam) dalam pepatah, berbunyi Siuw Chen Chung Chok. Arti Siuw = memperbaiki, Shen = sendi dan Chung Chok adalah agama atau ajaran yang menitik beratkan pada perbaikan akhlak pada diri manusia.
Majapahit disibukkan oleh pertikaian kepemimpinan, bencana alam, kelaparan dan wabah penyakit (pageblug). Sementara itu, Demak semakin perkasa mengadakan pembangunan dan memperkuat pertahanan yang dirancang untuk menangkal ancaman Portugis yang mulai mendekati gerbang Jawa. Banyak ahli mesiu dari Yunan Islam (Kunming-Tiongkok) didatangkan atas rekomendasi Aryo Damar seorang ahli mesiu, ayah tiri Raden Patah Djiemboen dan ayah kandung Raden Kusen, keturunan Yunan-Islam, anak angkat kesayangan Hayam Wuruk V.'
Jika situasinya benar demikian, budaya keris pada jaman kerajaan Demak sudah pasti tidak diperhatikan oleh pusat kekuasaan. Raden Patah (Djiemboen) memilih teknologi mesiu dari pada senjata tradisionil.
Namun demikian, budaya keris yang telah mengakar sejak jaman kerajaan-kerajaan sebelumnya sebagai senjata psikhis (keyakinan diri) masih terus berlanjut di dalam masyarakat. Budaya peng'agung'an keris tidak dapat digeser begitu saja. Dengan demikian para wali (Sunan Kalijaga) melakukan akulturasi sebagai langkah penyesuaian. Keris tetap dipakai sebagai atribut busana, bahkan para wali menyandang keris yang diselipkan di jubahnya (disengkelit; bahasa Jawa).
Bentuk warangka keris khas Majapahit dianggap kurang praktis, lalu dirancang dengan design yang baru, sedemikian rupa agar keris mudah "disengkelit" dan dibawa kemana-mana. Warangka rancangan para wali hingga sekarang dikenal dengan istilah "sandang walikat"(=sesuai pakaian wali).
Kerajaan Demak menghapus hegemoni sebelumnya, sehingga keris tidak diangkat sebagai isu penting. Bahkan keris pada masa ini keluar dari budaya sentralistik kekuasaan, keris hanya disandang oleh para wali.
Para wali memegang kendali adat dan budaya. Wali Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang disebut-sebut sebagai pelestari budaya. Keris terkenal yang bernama Kyai Sengkelat pembuatannya diprakarsai oleh Sunan Kalijaga pada masa transisi sebelum kerajaan Majapahit runtuh.
Pada catatan lain, ditemukan bahwa keris pada jaman Demak menjadi tanda waris (warisan). Para kolega wali atau kepercayaannya diberi keris sebagai cindera mata tanda mandat, pembawa pesan, sebagai utusan di pengukuhan status. Keris yang ada (ciptaan jaman sebelumnya) pada jaman Demak bergeser fungsinya sebagai pusaka (= warisan yang dianggap bernilai tinggi).
"......Sebagaimana dituturkan oleh Raffles, Sunan Ampel adalah salah seorang dari sembilan wali penyebar agarria Islam di Jawa, beberapa hari sebelum meninggal dunia memberikan sebilah keris kepada Sunan Giri. Sunan Ampel berpesan agar keris itu jangan sampai jatuh ke tangan orang yang tidak baik.... .... ''
Tulisan tersebut diatas merupakan indikasi bahwa keris diterima dilingkungannya, bukan suatu hal yang dianggap musyrik. Dapat dimengerti dari berita S. Raffles itu, bahwa pada waktu itu keris dianggap sebagai pusaka yang memiliki aspek religius yang harus disimpan oleh orang-orang yang sholeh.
Dimana para empu Keris masa itu ?
Pembuatan keris jaman Demak diperkirakan, mungkin tetap berlangsung namun dalam skala kecil sekali dan tidak diprakarsai oleh raja. Ciri-ciri bentuknya diperkirakan tidak berubah jauh dari bentuk karya jaman sebelumnya yaitu gaya keris buatan jaman Majapahit. Para empu yang hidup pada jaman Majapahit, tidak diketahui rimbanya. Hanya ditemukan catatan bahwa Sunan Kalijaga telah mendidik seorang empu keris (pandai besi) bernama Jaka Sura menjadi ulama yang terkenal cerdas, dan diberi gelar empu Supo Warihanom.
Karena pada masa akhir kerajaan Majapahit, dan mulai berdirinya kekuasaan Demak, kekacauan dan ketegangan menghantui rakyat sipil, menyebabkan senjata bernama "wedhung" yang lebih fungsional mulai banyak diproduksi.
Wedhung adalah senjata tajam alat tebas seperti pisau lebar. Kata `wedhung' menurut kamus bahasa Jawa "Bausastra" (S. Prawiroatmodjo; 1957, Penerbit Gunung Agung) artinya senjata seperti pisau raut berukuran besar dan bersarung, termasuk sebagai atribut pakaian kebesaran pegawai istana. Di sebelah selatan sentral kerajaan Demak, hingga sekarang bisa dijumpai desa Wedung, merupakan tempat dimana para empu keris menggarap wedhung.
Wedhung dibuat dengan gusen indah dan ricikan. Kebutuhan seni, merubah wedhung yang sebelumnya berbentuk sederhana dan berfungsi sebagai senjata tebas (situasi kacau pada saat itu) mulai bergeser menjadi benda seni, di "agung" kan seperti pada nilai budaya keris.
Wedhung mulai digarap empu dengan teknik pelipatan besi dan lapisan dari bahan meteor yang disebut pamor.
Motif pamor yang sering ditemukan adalah motif pamor beras utah dan wiji timun. Sebelumnya motif wiji timun dikenal dengan nama `ombak segoro' karena coraknya seperti penggambaran riak gelombang air laut yang susul-menyusul di pantai.
Wedhung berpamor wiji timun hanya boleh dimiliki oleh petinggi-petinggi di pantai utara Jawa pada waktu itu.
Indikasi bahwa wedhung berkembang di pesisir pantai utara Jawa adalah asesori warangkanya yang indah dengan tangkai dari bahan `penyu'. (wedhung yang ditemukan di pesisiran). Pada jaman berikutnya bahan dari penyu diganti dengan tanduk kerbau.
Masyarakat sepanjang pantai utara Cireboh - Gresik, ikut bergerak menjadi pengikut Sunan Giri jika terjadi perlawanan fisik melawan prajurit Girindrawardhana (Majapahit). Mereka bersenjata pedang dan menyelipkan wedhung (bukan keris) pada ikat pinggangnya sebagai identitas prajurit elite pesisiran.
PANDAWA CINARITA
Sebuah Kenang Kenangan Seorang Sahabat
Keris ini saya peroleh ketika hati dan fikiran saya sedang kalut. Saat itu datang ke tempat seorang sahabat dan manghadiahkan sebilah keris ini kepada saya. Menurut beliau keris ini di peroleh dari hasil tarikan di daerah Ambarawa. Nasehat beliau semoga keris ini bisa memberikan manfaat dan sebagai kendaraan untuk mempercepat tujuan hidup. Hanya sebagai alat dan bukan tujuan untuk meminta.
Salam untuk sahabatku, semoga kebaikan menyertai dirimu dan keluargamu.
Keris ini saya peroleh ketika hati dan fikiran saya sedang kalut. Saat itu datang ke tempat seorang sahabat dan manghadiahkan sebilah keris ini kepada saya. Menurut beliau keris ini di peroleh dari hasil tarikan di daerah Ambarawa. Nasehat beliau semoga keris ini bisa memberikan manfaat dan sebagai kendaraan untuk mempercepat tujuan hidup. Hanya sebagai alat dan bukan tujuan untuk meminta.
Salam untuk sahabatku, semoga kebaikan menyertai dirimu dan keluargamu.
Jumat, 08 Juni 2012
ADIPATI KARNA
Sepucuk Surat Untuk sang Istri
Beberapa jam sebelum pagi, sebelum gelombang pertempuran meledak lagi di Kurusetra, Karna tepekur sendirian di dalam kemahnya. Istrinya tidur pulas di peraduan. Karna tahu, hidupnya tak lama lagi. Karena itu, ia menulis sepucuk surat kepada Surtikanti istrinya.
“Peramal menujum aku akan tewas dalam perang ini. Tapi jangan dengarkan mereka, Surtikanti. Dengarkanlah aku. Nasib mungkin memihak musuh. Tapi aku akan menghadapi mereka - juga bila harus melalui mati.
“Mati, saat ini, rasanya bukan lagi soalku, Istriku. Mungkin karena alasan perangku lebih besar ketimbang hidup. Atau setidaknya alasan itu adalah alasan kehidupan sendiri: aku berperang untuk mengukuhkan siapa aku. Di pagi nanti, Karna tewas atau Karna menang, keduanya akan menentukan siapa dia. Sebab, siapa sebenarnya aku, Surtikanti, selama ini, selain seorang yang tak jelas kastanya, tak jelas asal-usul, tak jelas kaumnya?
“Jangan kau sedih. Aku memang mengulang kegetiranku. Di dunia kita yang telah dinubuat ini, Istriku, seseorang hanya mendapatkan dirinya tak jauh dari pintunya berangkat. Betapa menyesakkan! Sebab itu, Istriku, aku harus membuktikan bahwa seseorang ada, seseorang menjadi, karena tindakannya, karena pilihannya - bukan karena ia telah selesai dirumuskan.
Seorang resi pernah berkata: pada mulanya adalah Sabda, dan Sabda menjadi Kodrat. Bagiku, pada mulanya adalah perbuatan. Dari perbuatan lahir pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu aku bisa merumuskan diriku. Bagiku, Surtikanti, Kodrat adalah sesuatu yang tidak ada; dewa-dewa tak pernah menyabdakannya. Telah kuduga itu ketika namaku masih Si Radheya. Dulu.
“Kini bisa kuceritakan kepadamu apa yang terjadi pada Si Radheya, ketika ia berumur 16 tahun: hari itu ia tahu bahwa ibunya bukanlah ibunya yang sebenarnya, dan bapaknya — seorang sais — bukanlah bapaknya yang sebenarnya. Ia anak pungut, Surtikanti.
Ada yang menduga, seorang putri bangsawan tinggi melahirkan bayi yang tak dikehendaki dan membuangnya ke air. Dan itulah aku. Aku menangis ketika semua itu dituturkan padaku oleh wanita yang selama ini kusebut ibuku. Ternyata, aku bukan lagi bagian seasal dari dirinya, betapapun ikhlasnya kasih sayang.
Dan mulai saat itu, aku kembali terbuang, seorang bocah yang hanyut, di sepanjang tepian.
“Lalu kucari ilmu, istriku. Kau tahu, mengapa? Ilmu akan mengukuhkan aku bukan cuma anak suta yang hina. Meskipun kukatakan kepada Radha, ibuku, bahwa ilmu tak mengenal kasta, tak memandang harta — dan karena itu di sanalah aku akan bebas — sesungguhnya aku berjusta, juga pada diriku sendiri: diam-diam aku ingin ingkar kepada kelas orang-orang yang mengasihiku. Sebab, ternyata di dunia kita yang menyesakkan ini, Surtikanti, ilmu pun telah jadi lambang tentang mana yang rendah, mana yang tinggi.
“Aku datang berguru kepada Durna, tapi Durna menolakku karena aku bukan ningrat, bukan kesatria. Aku datang kepada Bhargawa, mengaku anak brahmana dan jadi muridnya - tapi kemudian ia mengutukku ketika ia menuduhku anak kesatria, kelas yang dibencinya itu, yang berbohong.
“Memang, setelah kukuasai semua astra dan semua senjata, aku tahu ilmu bisa melepaskan kita dari perbedaan susunan rendah dan tinggi. Tapi akhirnya hanya tindakan besar yang membebaskanku tindakan Pangeran Duryudana. Dialah yang mengangkatku jadi penguasa di Angga, istriku, dan dari sanalah aku seakan lahir kembali: kini benar aku bukan anak kasta yang dihinakan. Dan aku meminangmu.
“Ya, aku tahu mengapa Duryudana mengangkatku, ketika para Pandawa menghinaku, di pertandingan memanah di arena Hastina belasan tahun yang lalu itu; mereka menolak melawanku karena bagi mereka, anak sais tak berhak bertanding dengan anak raja.
Duryudana ingin memperlihatkan, di depan rakyat yang menonton, betapa tak adilnya para Pandawa. Dan Putra Mahkota Kurawa itu mungkin juga memperhitungkan aku bisa digunakannya buat menghadap musuhnya yang lima itu.
“Tapi apa pun niat hatinya, tindakannya adil dan kata-katanya benar: ‘Keberanian bisa datang dari siapa saja, karena seorang kesatria ada bukan hanya karena ayahbundanya, tapi toh bisa keluar dari batu gunung yang tak dikenal.
“Rasanya, akulah salah satu batu gunung itu, Surtikanti, yang menerbitkan perciknya sendiri. Inilah kemerdekaanku. Arjuna memilih pihaknya karena darah yang mengalir di tubuhnya, aku memilih pihakku karena kehendakku sendiri. Arjuna berperang untuk sebidang kerajaan yang dulu haknya, aku berperang bukan untuk memperoleh. Maka, jika aku esok mau, istriku, kenanglah kebahagiaan itu. Satu-satunya kesedihanku ialah bahwa aku tak akan lagi bisa memandangmu, ketika kau memandangku.”
Sampai di situ Karna berhenti; tangannya tergetar. Tapi segera ia mengusap busur panah di sisi duduknya. Kurusetra senyap. Malam mengerang kesakitan. Keesokan harinya, Karna memang gugur di tangan Arjuna, saudara seibunya.
Beberapa jam sebelum pagi, sebelum gelombang pertempuran meledak lagi di Kurusetra, Karna tepekur sendirian di dalam kemahnya. Istrinya tidur pulas di peraduan. Karna tahu, hidupnya tak lama lagi. Karena itu, ia menulis sepucuk surat kepada Surtikanti istrinya.
“Peramal menujum aku akan tewas dalam perang ini. Tapi jangan dengarkan mereka, Surtikanti. Dengarkanlah aku. Nasib mungkin memihak musuh. Tapi aku akan menghadapi mereka - juga bila harus melalui mati.
“Mati, saat ini, rasanya bukan lagi soalku, Istriku. Mungkin karena alasan perangku lebih besar ketimbang hidup. Atau setidaknya alasan itu adalah alasan kehidupan sendiri: aku berperang untuk mengukuhkan siapa aku. Di pagi nanti, Karna tewas atau Karna menang, keduanya akan menentukan siapa dia. Sebab, siapa sebenarnya aku, Surtikanti, selama ini, selain seorang yang tak jelas kastanya, tak jelas asal-usul, tak jelas kaumnya?
“Jangan kau sedih. Aku memang mengulang kegetiranku. Di dunia kita yang telah dinubuat ini, Istriku, seseorang hanya mendapatkan dirinya tak jauh dari pintunya berangkat. Betapa menyesakkan! Sebab itu, Istriku, aku harus membuktikan bahwa seseorang ada, seseorang menjadi, karena tindakannya, karena pilihannya - bukan karena ia telah selesai dirumuskan.
Seorang resi pernah berkata: pada mulanya adalah Sabda, dan Sabda menjadi Kodrat. Bagiku, pada mulanya adalah perbuatan. Dari perbuatan lahir pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu aku bisa merumuskan diriku. Bagiku, Surtikanti, Kodrat adalah sesuatu yang tidak ada; dewa-dewa tak pernah menyabdakannya. Telah kuduga itu ketika namaku masih Si Radheya. Dulu.
“Kini bisa kuceritakan kepadamu apa yang terjadi pada Si Radheya, ketika ia berumur 16 tahun: hari itu ia tahu bahwa ibunya bukanlah ibunya yang sebenarnya, dan bapaknya — seorang sais — bukanlah bapaknya yang sebenarnya. Ia anak pungut, Surtikanti.
Ada yang menduga, seorang putri bangsawan tinggi melahirkan bayi yang tak dikehendaki dan membuangnya ke air. Dan itulah aku. Aku menangis ketika semua itu dituturkan padaku oleh wanita yang selama ini kusebut ibuku. Ternyata, aku bukan lagi bagian seasal dari dirinya, betapapun ikhlasnya kasih sayang.
Dan mulai saat itu, aku kembali terbuang, seorang bocah yang hanyut, di sepanjang tepian.
“Lalu kucari ilmu, istriku. Kau tahu, mengapa? Ilmu akan mengukuhkan aku bukan cuma anak suta yang hina. Meskipun kukatakan kepada Radha, ibuku, bahwa ilmu tak mengenal kasta, tak memandang harta — dan karena itu di sanalah aku akan bebas — sesungguhnya aku berjusta, juga pada diriku sendiri: diam-diam aku ingin ingkar kepada kelas orang-orang yang mengasihiku. Sebab, ternyata di dunia kita yang menyesakkan ini, Surtikanti, ilmu pun telah jadi lambang tentang mana yang rendah, mana yang tinggi.
“Aku datang berguru kepada Durna, tapi Durna menolakku karena aku bukan ningrat, bukan kesatria. Aku datang kepada Bhargawa, mengaku anak brahmana dan jadi muridnya - tapi kemudian ia mengutukku ketika ia menuduhku anak kesatria, kelas yang dibencinya itu, yang berbohong.
“Memang, setelah kukuasai semua astra dan semua senjata, aku tahu ilmu bisa melepaskan kita dari perbedaan susunan rendah dan tinggi. Tapi akhirnya hanya tindakan besar yang membebaskanku tindakan Pangeran Duryudana. Dialah yang mengangkatku jadi penguasa di Angga, istriku, dan dari sanalah aku seakan lahir kembali: kini benar aku bukan anak kasta yang dihinakan. Dan aku meminangmu.
“Ya, aku tahu mengapa Duryudana mengangkatku, ketika para Pandawa menghinaku, di pertandingan memanah di arena Hastina belasan tahun yang lalu itu; mereka menolak melawanku karena bagi mereka, anak sais tak berhak bertanding dengan anak raja.
Duryudana ingin memperlihatkan, di depan rakyat yang menonton, betapa tak adilnya para Pandawa. Dan Putra Mahkota Kurawa itu mungkin juga memperhitungkan aku bisa digunakannya buat menghadap musuhnya yang lima itu.
“Tapi apa pun niat hatinya, tindakannya adil dan kata-katanya benar: ‘Keberanian bisa datang dari siapa saja, karena seorang kesatria ada bukan hanya karena ayahbundanya, tapi toh bisa keluar dari batu gunung yang tak dikenal.
“Rasanya, akulah salah satu batu gunung itu, Surtikanti, yang menerbitkan perciknya sendiri. Inilah kemerdekaanku. Arjuna memilih pihaknya karena darah yang mengalir di tubuhnya, aku memilih pihakku karena kehendakku sendiri. Arjuna berperang untuk sebidang kerajaan yang dulu haknya, aku berperang bukan untuk memperoleh. Maka, jika aku esok mau, istriku, kenanglah kebahagiaan itu. Satu-satunya kesedihanku ialah bahwa aku tak akan lagi bisa memandangmu, ketika kau memandangku.”
Sampai di situ Karna berhenti; tangannya tergetar. Tapi segera ia mengusap busur panah di sisi duduknya. Kurusetra senyap. Malam mengerang kesakitan. Keesokan harinya, Karna memang gugur di tangan Arjuna, saudara seibunya.
Langganan:
Postingan (Atom)