Senin, 11 Juni 2012

WEDUNG 2



Wedhung berkembang menjadi status simbol dalam keraton, ditandai dengan diciptakannya wedhung kecil dengan ukuran kurang dari 25 cm disebut "pasikon". Wedhung kecil "pasikon" ini menggeser fungsi `senjata tebas' menjadi senjata psikhis (sebagai piyandel).

Pasikon pada waktu itu hanya boleh dipakai oleh raja dan para petingginya saja. Maka tidak heran jaman Demak darr era selanjutnya, raja-raja Jawa melengkapi busananya dengan `pasikon' yang mudah dibawa-bawa.

Wedhung mulai disandang oleh Sultan Trenggono (raja Demak Bintoro) diperkirakan pada tahun 1506 M, saat peresmian Masjid Demak yang megah (DR. HJ. de Graaf, "Mosque'). Sehingga para empu keris bergairah lagi, karena budaya keris berbentuk wedhung disandang raja dan masuk istana.

Ketika Adiwidjaya 1581 M, mendapat pengakuan sebagai raja Pajang setelah Demak Bintoro runtuh, para empu keris muncul dan mulai menciptakan keris lagi. Suatu era baru dimana keris lebih disempurnakan dari ciri keris pada jaman sebelumnya. Bahan-bahan besi keris Majapahit yang ditimbun dan tidak dipergunakan mulai dimanfaatkan sehingga seni keris jaman Pajang dinilai lebih indah dibanding keris jaman Majapahit.

Keris yang pada jaman Demak tidak menjadi peng"agung"an budaya kerajaan, tidak banyak dibicarakan pada buku-buku, kecuali hanya ditemukan pada beberapa buku kawruh padhuwungan (R. Tannaya 1938 - Ditulis ulang oleh S. Lumintu), disebutkan : "Tangguh Demak ; pasikutan wingit, angker; Besi basah; Pamormengapung (ngambang)".

Bambang Harsrinuskmo menuliskan bahwa ciri-ciri bentuk kerisjaman Kesultanan Demak, antara lain : "Tangguh Demak : Ganja rata. Gulu meled, sirah cecak : kecil dan menguncup. Bahan pamornya bagus. Besi agak kuning kurang bercahaya (guwaya). Sosok bilah agak membungkuk. Tikel alis pendek. Sogokan panjang. Kembang kacang kecil. Jalen kecil. Lambe gajah agak besar dan panjang".'A'

Catatan tambahan
Wedhung merupakan senjata tebas yang telah ada sejak masuknya pedagang-pedagang dari Asia Timur dan Tenggara. Pada akhir-akhir ini penemuan senjata berbentuk serupa wedhung di tepi sungai Brantas - Jawa Timur, diperkirakan peninggalan jaman kerajaan Singhasari (abad 12 M), serta beberapa penemuan di daerah Cirebon - Jawa Barat, kemungkinan buatan jaman kerajaan Pasundan Hindu-Budha (abad 10 M). Maka sebenarnya dapat dilakukan penelitian perkiraan bentuk awal wedhung dan tahap perkembangannya.

Pada jaman Demak Bintoro, seperti telah diutarakan wedhung mengalami perkembangannya dari fungsi senjata tebas - penambahan aspek seni - kemudian menjadi senjata spiritual dan symbol status.

Pada jaman Mataram, wedhung dihiasi pamor yang variatip. Perkembangan seni pada wedhung terlihat adanya penambahan kaligrafi Islam di bilahnya dengan teknik menempelkan tatahan rumit terbuat dari emas.

Budaya wedhung mengalami puncaknya pada jaman keraton Paku Buwana (Kartasura - 17 M). Wedhung banyak dibuat dan dihadiahkan kepada petinggi-petinggi istana dalam wilayah kekuasaannya.

Bahkan pada jaman Sinuhun Paku Buwana X (18 M) wedhung sempat dipakai sebagai bahan ujian untuk para empu yang akan diresmikan oleh raja menjadi empu andalan keraton sebagai simbol janji kesetiaannya. Pada masa itu empu mas Ngabei Japan juga membuat wedung yang indah. (The World of The Javanese Keris; Garreftand8ronwen Solyom).

Wedhung menjadi bagian dari budaya keris yang penting karena oleh raja Paku Buwana X, wedhung (pasikon) dianggap sebagai karya agung yang spesifik, antara lain di dalam buku Koninklijke Geschenken Uit Indonesie, oleh Rita Wassing-Visser; disebutkan :

"Wedhung, senjata yang disandang di pinggang kiri depan oleh putra raja dan petinggi istana. Bentuk pegangannya bersegi lima, warangka dari kayu berwarna lebih muda dengan 4 lingkaran (ring) terbuat dari emas, dihiasi ornamen sumping (palmet dari emas) dengan initial PB X Disisi belakang ada penjepit panjang berbentuk tangkai seperti sendok sepatu dari tanduk kerbau. Wedhung pernah dihadiahkan kepada rafu Wilhelmina oleh Sri Susuhunan Paku Buwana X, saaf penobatannya padatahun 1898...". ( Wedhung biasa (untuk rakyat) juga dipakai oleh para abdi dalem dalam upacara resmi, sebagai ungkapan pengabdian kepada istana. Bahkan disakralkan menjadi simbol pengabdian manusia kepada Tuhan Yang Kuasa.

Teknik membuat wedhung jauh berbeda dengan keris, karena wedhung memiliki simpul-simpul keseimbangan yang harus dipelajari dengan seksama sehingga tantingannya ringan. Teknik pelipatan besi pada wedhung tidak banyak variasi, kecuali tumpukan lipatan besi dan bahan meteor berpola `mlumah'.

Kesimpulan
Wedhung adalah bentuk senjata yang memiliki nilai budaya, seperti keris. Awalnya sebagai senjata tebas kemudian bergeser sebagai senjata spiritual yang memiliki fungsi lain yaitu merupakan pelengkap berbusana.

Ciri-ciri khas bentuk keris pada jaman Demak merupakan misteri, namun wedhung dan pasikon (wedhung kecil raja) yang bukan berbentuk keris ternyata tetap mengisi budaya perkerisan, sebagai mata rantai budaya yang tidak terpufus.

Tidak ada komentar: